See My Another Photos In Instagram

Eat, Sea, Love Berburu Cinta Di Pasir Putih Situbondo

Dermaga sun set
Dermaga Pasir Putih
Pasir dan Air 
Terletak di sebelah utara Pantura, Pantai Pasir Putih Situbondo mungkin tak lagi asing bagi para pengendara yang sering melintasi jalur Deandles ini. Di sanalah saya mengincar matahari terakhir bulan September itu, ya…pantai dengan panjang lebih dari 3km ini terkenal dengan sunset-nya yang menggoda lensa-lensa kamera para traveller. Pukul 3 sore sinar matahari masih terlalu kuat untuk lensa Pentax k-30 yang saya bawa. Jenuh menatap hamparan laut Jawa yang dipenuhi oleh perahu layar dan para nelayan yang sibuk mondar-mandir menawarkan jasa pada para turis untuk mencoba perahu layar kebanggaan mereka,,tidak gratis tentunya. Saya pun membalikan badan dan tertarik pada sosok yang mengepulkan bara asap di depan tempat duduknya. 

Sate Laler 
Adalah Pak Ndi, penjual sate ayam asli Situbondo dengan kumis dan baju loreng merah putih khas madura. Cukup aneh memang jika biasanya pantai selalu dipenuhi oleh penjual ikan laut bakar tapi tidak dengan Pantai yang satu ini, penjual sate justru yang hampir selalu terlihat di setiap tempat teduh di sepanjang pinggiran pantai di depan hotel-hotel. Dengan logat maduranya yang kental Pak Ndi menceritakan bahwa dirinya sudah hampir 3 tahun berjualan Sate Laler ini. “Disebut Sate Laler bukan karena daging laler dek, tapi karena dagingnya memang sengaja dipotong kecil-kecil tapi banyak”. Jelas Pak Ndi sambil terus membolak-balik daging didepanya. Walaupun sedikit malu-malu saat lensa kamersaya mengarah pada kegiatanya, pak Ndi tetap melanjutkan ceritanya tentang pasput “Yak karena mayoritas orang Situbondo itu keturuan Madura, ya ini yang kami jual, Madura kan khasnya sate ayam bukan kakap bakar” Tak sampai 10 menit seporsi sate Laler sudah siap di hadapan ku. Memang daging ayam tidak sebesar sate-sate Madura yang sering kita jumpai di kota-kota tempat tinggal kita, tapi aroma khas kacang dan minyak serta lemak yang terbakar sempurna cukup menusuk hidung, menggugah selera dan memancing air liur dari tenggorokan yang sudah minta diisi dari tadi. Jika diperlukan sekitar 10 menit maka hanya butuh kurang dari 6 menit untuk menyikat sate Laler yang memang kecil-kecil ini. 

Saya sang Kapten Kapal 
Matsaya memicing saat pak Ndi menunjuk sebuah perahu layar yang terparkir di sepanjang garis pantai. Deretan tiang layar setinggi 4 meter seakan-akan menopang langit sore itu. “Belum ke pasir putih dek kalau belum mencoba naik perahu layar” ujar pak Ndi sambil menuang kecap ke piring bumbumnya. Mendengar hal itu otsaya langsung membayangkan saya duduk dianjungan dan menatap cakrawala bergaya seperti kapten Jack Sparow mungkin. Dan setelah tawar menawar dengan seorang pemilik kapal yang dikenalkan oleh Pak Ndi dan setelah sedikit berbasah-basah kini saya sudah duduk di bawah layar yang melengkung menahan angin. Dengan lebar kurang dari 1 meter dan dilengkapi penyeimbang dari bambu di kedua sisinya perahu yang saya naiki dapat menyisir ombak laut Jawa dengan sangat imbang. Pemilik kapal dengan cekatan menarik ulur tambang untuk membuat laju kapalnya semakin cepat. Sekitar 15 menit kami diajak melaju 1 km dari lepas pantai, dari sini saya bisa melihat deretan pantai sepanjang jalur pantura yang behiaskan truk-truk besar dan mobil pribadi yang lalu-lalang tak peduli dengan pasir dan air laut ini. Tiba-tiba perahu berhenti berlayar, sang pemilik mengendurkan tali kekang layarnya yg sudah nampak tua. Beliau mengambil sebuah kotak kayu yang di alasnya diberi kaca. “Ini dek buat lihat terumbu karang yang ada bawah sana”. Sejenak saya terkejut mendengar ada terumbu karang di Situbondo. Namun hal itu segera diganti rasa sedikit kecewa karena yang saya temui hanya beberapa bongkah karang yang baru ditanam,,yah,mungkin beberapa tahun lagi pikirku. 

Dermaga Cinta dari kayu.. 
Matahari yang saya tunggu pun kini sudah mulai merubah cahanya menjadi lebih jingga. Pandanganku tertuju pada dermaga kayu yang menusuk pantai utara.Dermaga Cinta begitu warga sekitar menyebutnya. Di ujung dermaga dibangun sebuah gubuk sederhana yang di pucuknya dibuat seperti bangunan joglo khas jawa tengah. Angin keras tadi siang mulai berganti dengan hembusan angin lembut. Dermaga sore itu sudah dipenuhi pasangan muda yang sedang merangkai mimpi cinta, cukuplah sunset dan dermaga ini yang menjadi saksi, mungkin itu yang ada di pikiran mereka. Tiba-tiba saya teringat seorang yang dulu selalu ada setiap saya menoleh, di sampingku disetiap perjalanan menelusuri bumi Kartini ini. Ya tiba-tiba perasaan aneh itu muncul lagi. Pantas jika deretan kayu ini disebut Dermaga Cinta……

0 komentar:

Post a Comment