Ibu Toera |
Mempelajari sejarah sebuah kota
tidak harus dengan membaca buku atau pergi ke museum. Karena sejarah pun juga
bisa kita cicipi langsung dengan lidah kita. Seperti yang saya lakukan di kota
tembakau beberapa hari yang lalu. Tempatnya berada di sebuah gang di tengah
kota, tidak jauh dari alun-alun Jember. Nama resminya adalah Warung Bu Toera,
namun kebanyakan warga Jember mengenal tempat tersebut dengan nama Kekel
(kikil:pengucapan Jember) gang SMP 2.
Sebutan tersebut tentu lahir
bukan tanpa alasan. Tempatnya memang unik, tidak seperti warung-warung lain
yang berdiri dibawah tenda. Warung Bo Toera mengambil tempat tepat dimulut
sebuah gang yang lebarnya tidak lebih dari 5 meter. Tempatnya memang sederhana,
namun tidak ada kesan kumuh yang terlihat. Ketenaran warung ini langsung terasa
jika dilihat dari banyaknya mobil yang parkir di bahu jalan di depan gang
tersebut.
Hal tersebut berlanjut ketika
saya masuk kedalam warung, tidak sedikit orang yang berdiri hanya untuk
menunggu pesananya. Bangku dan meja diatur memanjang mengikut gang, yang
diunjungnya terdapat dapur kecil sumber harum kaldu yang sudah tercium dari
depan gang.
Rela Antri |
Senyum lembut dan sapaan ramah
menyambut saya dan kawan-kawan. Adalah Pak Samadli yang mengelola warung
tersebut bersama Bu Toera sang istri dan Mila menantunya. Dari Pak Samadli kami
mengetahui bahwa warung ini sudah berdiri sejak 1974. Mbak Mila adalah generasi
ke 3 penerus resep kikil gang itu. Pak Samadli berani menjamin resep yang
diciptakan Ibunya puluhan tahun yang lalu masih tetap orisinil, baik cara
maupun kualitas bahan yang dipilih.
Resep itu bernilai filosofis
Bukan hanya resepnya, tapi ada
sebuah nilai yang terkandung dalam setiap sendok kaldu kikil di warung ini,
begitulah yang diucapkan Pak Samadli. Warung ini berdiri dengan semangat
kekeluargaan. Hal tersebut jelas tergambar dari pelayanan keluarga tersebut
kepada tamu-tamunya. Ya, kami merasa seakan sedang mengunjungi dapur kakek jauh
kami. Sapaan seperti “Cah bagus,,” atau “Cah Ayu,,” sering digunakan Pak
Samadli untuk menyapa pelangganya.
Tidak butuh waktu lama, sepiring
nasi dan mangkuk penuh dengan kikil dan kaldunya sudah berada di depan hadapan
saya. Asap tipis dari kaldu yang dipanaskan terus-menerus langsung mengundang
selera makan saya. Setidaknya ada sekitar 10 potong kikil empuk di setiap porsi
yang sudah dipresto selama 4 jam lebih dipagi harinya. Sedikit terasa asin buat
saya, namun juga tidak ada bau amis yang menyengat seperti kikil pada umumnya.
Seporsi Kikil |
Sayang
sekali Ibu Toer tidak mau menyebutkan bahan apa saja yang digunakan untuk
membuat kaldu seenak itu. Tapi saya dapat menemukan beberapa potongan bawang
merah dan aroma daun bawang disertai daun seledri sebagai taburan di atas
kaldu. Setelah saya tambah sedikit kecap dan remasan jeruk nipis, seporsi kikil
lengkap dengan nasi dan jeruk hangat dengan harga Rp 12.000, cukup untuk
membuat saya menghela nafas puas.
Tak heran jika setiap harinya,
tidak kurang dari 25 kg kikil dari kaki sapi bisa dihabiskan di warung ini.
Resep 3 generasi itu telah sukses memberikan kenikmatan kuliner terhadap setiap
konsumenya. Dari polisi, anak TK, mahasiswa, ibu rumah tangga sampai anggota
dewan.
Jember memang kota yang baru
resmi lahir pada 1928. Kota ini sedang membangun sejarahnya, dan Warung bu
Toera yang terletak di sebuah gang kecil di tengang kota, adalah tempat dimana
kita bisa mencicipi sejarah kota tembakau ini.
mencicipi sejarah |
0 komentar:
Post a Comment