Foto: Ema |
Ya, beberapa miggu yang lalu saya berkesempatan untuk
kembali ke Blitar. Bumi Proklamator tempat Sang Singa Podium, Presiden pertama
kita disemayamkan. Hari-hari pertama di Blitar saya habiskan dengan menyapa
teman-teman semasa bangku sekolah dulu. Remaja-remaja tanggung yang dulu saya
kenal ternyata sudah mulai berubah menjadi seorang dewasa yang mulai penuh
dengan pengalaman. Ternyata tidak hanya saya yang haus dengan hal baru. Mereka
juga pulang dengan cerita menarik dari tempat rantau masing-masing. Mungkin ini
juga yang menjadikan tradisi mudik menarik, saling “pamer”
pengalaman..hahahahahha
Obrolan kami pun berlanjut dengan membicarakan tentang
wisata di kota Blitar sendiri. Namun saya hanya bisa mendengarkan, karena baru
setelah keluar dari SMA dan memilih kuliah di kota yang jauh dari orang tua lah
saya mulai mengenal dunia traveling (atau saya lebih suka menyebut
jalan-jalan). Sehingga tidak banyak wisata dirumah sendiri yang saya ketahui.
Dari obrolan tersebut munculah nama Rambut Monte, nama
tempat yang sebenarnya sudah sering saya dengar dari kecil namun tidak pernah
saya ketaui bentuk dan dimana lokasinya. Kawan saya menggambarkan Rambut Monte
sebagai sebuah telaga indah dengan air berwarna biru karena ganggang yang
dipenuhi ikan-ikan sebesar paha orang dewasa. Tidak hanya itu, kecantikan
telaga tersebut masih ditambah dengan berdirinya sebuah gubuk kecil yang
menjorok ke tengah danau, dan dihubungkan dengan jembatan bambu yang dianyam.
Sebuah deskripsi yang sangat berbanding terbalik dengan
cerita-cerita tentang Rambut Monte yang pernah saya dengar ketika masih kecil. Versi
tersebut menyebutkan bahwa Rambut Monte adalah tempat yang angker, mistis,
gelap, dan dihuni oleh ikan keramat. Dengan candi dan petilasan di bawah
pohon-pohon besar yang menyeramkan. Itulah alasan kenapa dari kecil tidak
pernah sekalipun terlintas penasaran untuk mencoba menjelajahi tempat tersebut.
Hingga saya dengar sudut lain pada malam itu.
Terletak di Desa Krisik, Kecamatan Gandusari, kurang lebih
30 km dari kota Blitar. Melewati jalan
berkelok yang memotong perkebunan teh. Kurang dari 1 jam saya sudah dapat
melihat papan penunjuk ke arah Rambut Monte. Tidak jauh dari jalan raya gerbang
masuk wilayah Rambut monte sudah terlihat.
Kesan angker yang sejak dulu ada dibayangan saya segera
luntur. Tidak ada pohon besar yang menyeramkan, justru kesan hijau dan rindang
yang terasa. Candi yang angker dalam otak saya juga berganti dengan candi
terlihat indah dan terawat. Dan pertunjukan utamanya dapat kita temui dengan
menuruni beberapa anak tanggai landai. Sebuah danau berair biru dan dikelilingi
pohon pinus sejuk.
Menurut warga sekitar Rambut Monte merupakan petilasan
peninggalan kerajaan Majapahit. Dan hingga sekarang pada hari-hari tertentu
masih banyak warga yang sering menggunakan situs ini sebagai tempat semedi.
Kisah tentang ikan keramat yang hidup di danau Rambut monte juga memberikan
warna lain di situs wisata sejarah ini. Konon ikan sejenis wader atau Labeobarbus Siamensis tersebut merupakan
jelmaan dari murid Mbah Monte yang dikutuk karena tidak mematuhi arahan dari
gurunya. Masyarakat sekitar percaya bahwa ikan tersebut adalah ikan keramat
yang tidak boleh ditangkap apalagi dikonsumsi. Meskipun begitu, menurut
keterangan juru kunci, jumlah ikan di Rambut Monte tidak pernah berkurang
ataupun bertambah. Kearifan lokal yang tentunya mampu ikut serta menjaga
kelestarian tempat bersejarah ini.
Foto: Retno |
0 komentar:
Post a Comment